-->

KISAH AMERIKA DI PRRI DAN CIA DI PERMESTA

“Hatta… Kau benar,”katanya dalam bahasa Belanda. Hatta tidak merespon kata-kata itu. Ia hanya tepekur. Sedih. Dan tentunya itu bukan sebuah kepura-puraan.Waktu kemudian menjadi saksi, pertemuan dua sahabat yang mengantarkan kelahiran bayi bernama Indonesia itu, adalah pertemuan terakhir kalinya. Beberapa hari kemudian, tepatnya 21 Juni 1970 Soekarno pun pergi untuk selamanya.

Saat mendengar Soekarno meninggal, konon Hatta terdiam lama. Saya yakin, itu adalah sebentuk rasa kesedihan yang luar biasa bagi laki-laki sederhana tersebut. Ya, Hatta tak mungkin melenyapkan Soekarno dari benaknya. Sejak 1932, mereka berdua telah berteman dan bahu membahu berjuang mendirikan Indonesia sekaligus merawatnya.

1 Desember 1956.Wakil Presiden Mohammad Hatta, resmi melepaskan jabatannya. Surat pengunduran diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta, mulai hari itu juga, resmi tanggal. Berpisah jalan.

Meski telah mengundurkan diri, namun banyak pihak yang menginginkan agar Hatta bisa kembali aktif di pemerintahan. Beberapa agenda dan pertemuan digelar untuk menjajaki kemungkinkan ke arah itu.

Pada bulan September 1957, atas prakarsa Perdana Menteri Ir Djuanda, digelar Musyawarah Nasional yang membahas kemungkinan rekonsiliasi antara Soekarno-Hatta. Beberapa anggota DPR juga mengajukan mosi mengenai pemulihan kerja sama antara Soekarno-Hatta. DPR sendiri kemudian menerima mosi tersebut dan menyepakati dibentuknya panitia Ad Hoc untuk mencari dan merumuskan bentuk kerja sama yang baru antara Soekarno-Hatta. Panitia tersebut resmi dibentuk pada 29 September 1957 dan dikenal sebagai Panitia Sembilan.

Hingga pembubaran resmi panitia Sembilan itu pada Maret 1958, tak ada keputusan konkrit yang dihasilkan. Publik yang berharap Soekarno-Hatta bisa bekerjasama harus menelan mentah-mentah harapannya. Dwi tunggal, yang sudah nyaris menjadi mitos dan legenda itu, dipastikan pecah kongsi selamanya.

Ketika Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih rakyat dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli1959, Hatta melihat Demokrasi sampai pada tahap yang membahayakan. Konstituante di bubarkan Soekarno sebelum tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar rampung.Dekrit Presiden itu akan memberlakukan kembali UUD 1945. Hatta melihat hal itu dengan prihatin dan menganggap telah terjadi krisis Demokrasi. Bung Hatta kemudian menulis buku Demokrasi kita tahun 1960 dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka.Soekarno marah karena isi buku tersebut dianggap menentang kebijakannya. Selain dilarang terbit, majalah Panji Masyarakat juga dilarang untuk dibaca,dilarang untuk disimpan, dan dilarang keras untuk menyiarkan buku tersebut. Dan barang siapa yang tidak mengindahkan larangan itu diancam hukuman berat. Padahal “Demokrasi Kita” merupakan hasil pikiran brilian salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
*****
Pangkalan militer AS di kawasan Pasifik sudah lama ada di Pearl Harbour, Pilipina (Subic dan Clark), Guam dan setelah PD-2 bertambah dengan pangkalan baru di Okinawa, Taiwan, Korea Selatan dan Vietnam Selatan. Sedangkan kekuatan militer Inggris berkuasa di Singapura. Dengan sederetan pangkalan itu jalur ekonomi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan dikuasai. Kekuatan militer itu sudah berada dalam suatu komando yaitu Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO). Kekuasaan ekonomi juga kokoh karena hampir seluruh perdagangan Asia Timur danTenggara adalah dengan Blok Barat.

Lautan memang dikuasai tapi di daratan banyak masalah. Rakyat Vietnam bangkit melawan Perancis dan mereka menang setelah benteng Dien Bien Phu berhasil digempur (1954). Dari pemain di belakang layar AS mulai turun sendiri ke gelanggang. Di Indonesia, Pemilu-55 menghasilkan empat besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI). Yang lebih mengkhawatirkan AS adalah hasil Pemilu Daerah 1957. Di P. Jawa yang memilih PKI meningkat pesat, dari 19,8% dalam Pemilu-55 menjadi 30,5% dalam Pemilu Daerah-1957.

Sementara itu ketegangan antara pusat dan daerah mulai meningkat, baik di kalangan sipil maupun militer. Hubungan antara pimpinan militer pusat, Nasution dan stafnya, dengan para kolonel di Sumatra dan Sulawesi sudah tegang. Penyelundupan kopra dan karet menjadi sumber pendapatan para kolonel daerah. Dengan sumber dana sendiri, mereka mau lebih otonom, mau lebih bebas dari kontrol pusat. Nasution didukung sepenuhnya oleh Sukarno untuk menegakkan kontrol pusat. Lalu dia memindahkan para panglima daerah itu. Warouw, panglima Indonesia Timur, diberi tugas baru sebagai atase militer di Peking. Tetapi beberapa kolonel Sumatera yang tidak setuju dengan rencana Nasution kemudian mendirikan Dewan Banteng dipimpin oleh kolonel Ahmad Husein, panglima Sumatra Barat. Tgl 20 Desember 56, Husein mengambil kekuasaan sipil di Bukit Tinggi atas nama Dewan Banteng. Simbolon, panglima Sumatra Utara coba merebut kekuasaan sipil di Medan, tetapi gagal. Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan meresmikan berdirinya Dewan Garuda yang tidak mengambil alih kekuasaansipil di Palembang tetapi bertindak sebagai ‘penasehat’.

Pada 24 November 1956, reuni eks Divisi Banteng (yang kemudian menjadi Dewan Banteng) di Padang, Sumatra Tengah (kini Sumatra Barat), memberi perhatian serius terhadap otonomi luas dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pokok-pokok Perjuangan Dewan Banteng yang diumumkan seusai reuni, antara lain, menuntut: “… pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang wajar, layak, dan adil.”

Reuni eks Divisi Banteng juga: “Menuntut serta memperjuangkan diadakannya suatu Dewan Perwakilan Daerah-daerah (Senat) di samping DPR (Parlemen) yang akan dapat menjamin langsung kepentingan daerah-daerah dalam wilayah Republik Indonesia.”

Kolonel Sumual, panglima Indonesia Timur yang baru saja menggantikan Warouw, memproklamirkan keadaan darurat di wilayahnya dan mengambil alih kekuasaan sipil di Makasar. Tanggal 2 Maret 1957 dibacakan “Piagam Perjuangan Semesta Alam” (Permesta) yang menuntut: otonomi daerah yang lebih besar, kontrol terhadap pendapatan daerah, desentralisasi dan kembalinya dwitunggal Sukarno-Hatta. Menyusul proklamasi Permesta, kolonel Barlian di Sumatra Selatan juga mendirikan pemerintahan militer dan menyingkirkan gubernur sipil.

Para panglima daerah mendapat dukungan juga dari tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari profesor Sumitro. Bekas menteri keuangan itu oleh militer dituduh korupsi, lalu dia diperiksa. “In March, the army had summoned Sumitro for questioning because of his association with a Chinese businessman who had been arrested on charges of fraud, bribery and subversion. After two interrogations regarding his financial ties with the businessman, Sumitro refused to comply with a third summons on May 8, 1957, and instead fled Jakarta” (K&K, 70-71). Sumitro kabur ke Sumatra dan bergabung dengan para kolonel. Bersama Simbolon, Sumitro menjadi jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro menghubungi agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71). Tanggal 7-8 September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang. Pertemuan itu mencetuskan “Piagam Palembang” yang mengajukan lima tuntutan ke pusat: (1) Pemulihan Dwitunggal Soekarno-Hatta, (2) Penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) Pembentukan Senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4) Melaksanakan otonomi daerah, dan (5) Melarang komunisme di Indonesia. Sayangnya, tuntutan daerah itu tidak digubris oleh pemerintah pusat. Dengan berbagai fragmen yang mendahuluinya, pada 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan mengumumkan Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara.

Butir (3) piagam tersebut berbunyi sebagai berikut: “Memberantas korupsi dan birokrasi disebabkan oleh sentralisme yang telah melewati batas, yang menjadi penghalang bagi pembangunan yang adil dan merata antara daerah-daerah Indonesia, serta perkembangan bakat potensi dan tanggung jawabnya, baik di lapangan ekonomi, keuangan, dan ketatanegaraan.”

Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan didirikannya Dewan Banteng, proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan dicetuskannya Piagam Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh pimpinan sipil dan militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-12 September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatra untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari Hatta itu tidak berhasil meredakan ketegangan.

Bulan Januari 1958 kolonel Barlian, panglima Sumatra Selatan, mengusulkan pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari). Dalam pertemuan itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi: Burhanuddin Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dalam pengasingan setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam pertemuan Sungai Dareh itu, ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon dan Sumual. “They discovered that the colonels already had well-developed contacts and sources of funding and supply abroad, especially with the CIA, and had been promised more, including air cover.” (K&K, 128). Menurut Sjafruddin, mereka tidak tahu sebelumnya tentang kontak-kontak kolonel Husein dengan CIA, dan “We were left completely in the dark with respect to his daily telegraphic contact with Singapore, the CIA’s major headquarters for covert U.S., operations in the area.”

Para tokoh Masjumi berusaha agar para kolonel tidak membentuk pemerintahan yang terpisah dari RI. Menurut James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan Sungai Dareh itu,
tokoh-tokoh Masyumi berpikir, “Civil war must be prevented and nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda with Hatta.” (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis. Pertemuan Sungai Dareh membentuk “Dewan Perjuangan” dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di Sungai Dareh itu terbatas, “The three Masyumi leaders realized that by participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to Jakarta” (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno. Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah.

Para kolonel terus menjalin hubungan dengan AS dan Inggris. Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu anti komunis. Sumitro memberi banyak nasehat pada para kolonel daerah untuk sering-sering menyanyikan lagu anti-komunis ini. “By the time of the February ultimatum to Jakarta anticommunism dominated the interviews given by most rebel leaders to visiting Western journalists.” Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, “We must win American support by emphasizing the communist danger,” dan “it was important to stress the anti- communist danger in the argument ‘so as to interest the Americans’. Naturally our appeal must be made to fit our audience. For the Western powers we stress the very realdanger of communism” (K&K, 147).

Ketegangan hubungan antara Pusat dengan Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an memang dimonitor betul oleh pemerintahan Eisenhower. Ketika John Allison diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari 1957), pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, “Don’t let Sukarno get tied up with the communists. Don’t let him use force against the Dutch. Don’t encourage his extremism…Above all, do what you can to make sure that Sumatra (the oil production island) doesn’t fall to the communists,” (K&K, 84). Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) menugaskan seorang staf ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki “the possible break-up of Indonesia” (K&K, 85). Dari studinya Mein menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, “It would be advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil, petroleum, tin) under more reliable political control… Sumatra, with the Malay peninsula, dominates the Staits of Malacca, and is of great strategic importance.” Sebagai kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya Indonesia, “Could succeed only with substansial material assistance from the United States,” (K&K, 88-89).

Para pejabat tinggi State Department (Departemen Luar Negeri) AS memutuskan bahwa AS perlu melakukan operasi intelijen dan memberikan bantuan militer ke pihak pemberontak di Sumatra (PRRI) dan Sulawesi (Permesta) melawan pemerintah pusat RI di Jakarta. Pertimbangan utama politiknya saat itu disebabkan oleh kecenderungan berkembangnya PKI dan sikap Bung Karno yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menjaga kepentingan ideologis AS di Asia, khususnya Indonesia. Di tengah-tengah suasana Perang Dingin, faktor pertarungan ideologi memang mendominasi pengambilan keputusan semacam itu.

Maka, sekumpulan “James Bond” dari kalangan CIA kemudian ditugasi melakukan operasi dengan code-name Haik, pelesetan dari kode awalan HA dalam sistem CIA. Mulailah mereka menyelenggarakan serangkaian pertemuan, operasi intelijen, dan kiriman bantuan militer kepada PRRI dan Permesta. Potongan kisah-kisah pribadi dan kolektif operasi AS di Indonesia itulah yang dituangkan ke dalam buku Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia karya Conboy dan Morrison ini. Suatu buku yang mungkin bisa memberikan inspirasi baru bagi kisah-kisah fiksi Ian Flemming (kalau saja ia belum meninggal) atau film semidokumenter seperti karya John Hughes, The Indonesian Upheaval, untuk tahun 1965.

Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal, ideologi anti-komunis dan intervensi militer. Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai menyalurkan dana kepada kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang dianggap pimpinan para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, “Played up the anti-communist act because they knew we were interested in that.” Dengan ideologi anti-komunis ini para pemberontak segera mendapat senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai perlengkapan perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20 mil selatannya Padang. Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon untuk berlatih di fasilitas militer AS di Okinawa, Saipan dan Guam. Persiapan militer untuk pemberontakan itu terus berlangsung selama akhir tahun 1957 (K&K, 120-121).

Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. “The anti-communist theme had by this time assumed major importance in the rebel propaganda, particularly to their overseas backers.” (K&K, 147). Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. “It was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the rebels via Taiwan and the Philippines but that military personnel form both the United States and the government of Chiang Kai-shek were directly supporting the rebels and that Philippine government personnel were alsogiving them significant assistance” (K&K, 168).

Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan Armada-7 AS membentuk “Task Force-75″ yang terdiri atas satu cruiser, dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi 2 batalion marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom oleh RI maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk mengadakan intervensi militer langsung dengan alasan “Melindungi warga AS di Caltex” (K&K, 149). Kolonel George Benson, atase militer AS di Jakarta bilang, “The U.S was anxious to have pretext to send marines.” Dan dua batalion marinir itu sudah, “fully equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields” (K&K, 150).

Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua sudah tahu. TNI bertindak cepat dan sangat berani. Dengan 5 batalion marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak Caltex direbut sehingga tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di Sumatra. Task Force-75 terpaksa kembali ke pangkalan Subic di Pilipina. Tanggal 17 April Padang direbut kembali.

Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan AS membuat Permesta berjaya di udara. Selama bulan April-Mei 1958, Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan pengeboman di Banjarmasin, Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate dan Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang mensuplai pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari Amerika, Pilipina dan Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang landasannya cukup panjang untuk mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29 berpangkal di Morotai maka Permesta punya kemampuan untuk membom Surabaya, Bandung dan Jakarta. Dengan menguasai udara, sekaligus berarti juga menguasai lautan, pimpinan militer Permesta, kolonel Vence Sumual, sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta setelah menguasai Balikpapan dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga AURI mengadakan serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo, yang dibarengi dengan serbuan darat. Tanggal 26 Juni Menado direbut. Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan Permesta sudah dipatahkan. (Lihat Operation “HAIK” : Clandestine US Operations: Indonesia 1958, Operation “Haik”)

Intervensi militer AS selama pemerintahan Eisenhower ini gagal total. Memang petualangan politik-militer ini hampir tidak tercatat dalam sejarah dunia. Baru studi Audrey Kahin dan George Kahin pada tahun 1995 ini yang membentangkan intervensi politik-militer AS dengan detail. Petualangan AS di Indonesia jauh lebih besar dari pada Peristiwa Teluk Babi dalam pemerintahan Kennedy (untuk menjatuhkan Fidel Castro di Kuba pada tahun 1961). Di Indonesia operasi rahasia AS ini tidak hanya dilakukan oleh CIA, tetapi juga melibatkan Angkatan Laut (Armada-7), Angkatan Udara AS, dan berlangsung dalam waktu yang jauh lebih lama dari pada Peristiwa Teluk Babi. Dibandingkan dengan Peristiwa Teluk Babi, “The intervention in Indonesia was by far the most destructive in human terms, had a heavier and more lasting political impact, and with respect to the U.S. objectives, was the most counterproductive” (K&K,3).
********
Dalam buku Conboy dan Morrison “Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958“, keterlibatan CIA dalam pergolakan ini sangat jelas. Adalah Presiden AS Eisenhower, John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri AS, dan Allan Dulles, Direktur CIA, yang mengantar keterlibatan CIA dalam perjuangan PRRI/Permesta. Kekecewaan terhadap kebijakan lunak Presiden Henry Truman menghadapi komunisme pasca-Perang Dunia II lewat program bantuan ekonomi Marshall Plan telah mendorong pembuat kebijakan AS bertindak lebih agresif untuk membendung bahaya komunis di seluruh belahan dunia. Ketika bibit komunisme mulai bersemai di Indonesia, yang diserap dalam konsep Nasakom (nasionalis, agama, komunis), tak aneh jika Eisenhower dan Dulles bersaudara menganggap sepak terjang kolonel pembangkang di Indonesia sebagai elemen kunci strategi Amerika dalam upaya menjegal penyebaran komunis di Asia Tenggara.

Pilihannya tak hanya sekadar keterlibatan secara terbuka ala Marshall Plan, tapi juga operasi tertutup yang melibatkan jaringan CIA di seluruh dunia. “I think it’s time we held Sukarno’s feet to fire (ini saatnya kita menyeret kaki Sukarno ke api),” ujar Frank Wisner, kepala operasi klandestin CIA, seperti yang dikisahkan dalam buku karya Conboy dan Morrison itu.

Meski pihak CIA dan para perwira pembangkang mempunyai kepentingan bersama, situasi ini tak diketahui secara persis oleh beberapa kolonel di Indonesia. Akibatnya, Ventje Sumual, pemimpin Permesta, dan Letkol Sjoeib, tangan kanan Ahmad Hussein di PRRI, pontang-panting berupaya membeli senjata. PRRI/Permesta menggunakan uang hasil ekspor karet dan kopra. “Kita harus punya senjata untuk menggertak Jakarta bahwa kita kuat,” ujar Sjoeib seperti yang diutarakan kepada TEMPO.

Semua pergolakan perwira pembangkang itu dimonitor markas CIA di Jakarta, yang memiliki jaringan dengan agen lokal. Salah satu agen lokal CIA itu adalah Sutan Alamsjah Simawang. Pengusaha Padang ini kabur ke Australia selama Perang Dunia (PD) II dan sempat mendapat pendidikan latihan intelijen AS. Seusai PD II, Simawang menjalin kontak dengan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dari Simawang, CIA mengetahui bahwa Ketua Dewan Gadjah (Panglima Tentara Teritorial Bukit Barisan) Kolonel M. Simbolon, yang terisolasi di Padang, mulai merasakan tekanan. Sang Kolonel bergantung pada sumbangan makanan dari Letkol Ahmad Hussein (Ketua Dewan Banteng) yang terbatas. Dengan Hussein yang terjepit dan pasukan Simbolon mulai kelaparan, tekanan pun mengganjal.

Adalah James M. Smith Jr., seorang perwira CIA, yang kemudian menangani Simawang. Dia pernah ditempatkan di Medan sehingga banyak mengenal perwira lokal TNI, termasuk Kolonel Simbolon. Suatu hari pada 1957 di Jakarta, Smith kaget melihat dua orang Sumatra sudah berada di depan pintu rumahnya untuk menyampaikan pesan: Kolonel Simbolon sedang mencari kontak ke pemerintah Amerika. “Mulanya saya pikir mereka provokator yang dikirim pemerintah pusat,” kata Smith.

Washington segera menyetujui permintaan Smith untuk bertemu dengan para pembangkang Sumatra. Ketika Smith bertemu dengan Simbolon dan Hussein di Bukittinggi, mereka tak membicarakan bantuan militer, melainkan hanya bantuan uang dan radio komunikasi. Bantuan finansial itu segera dikirim lewat seorang perwira CIA di Konsulat AS di Medan bernama Dean Almy, 30 tahun. Penugasan ini membawa Almy ke balik setir jip untuk memulai perjalanan solo penuh bahaya ke Bukittinggi. Di sebelahnya tergeletak tas berisi lembaran US$ 50 ribu untuk pembelian beras bagi para pengikut Kolonel Simbolon.

Pertemuan Almy dengan Simbolon itu tak menyinggung soal bantuan militer. Sebaliknya, Simbolon menegaskan statusnya masih perwira TNI dengan komitmennya terhadap persatuan bangsa, sekalipun menuntut otonomi regional yang lebih. Sejak saat itu, AS semakin yakin dengan kawan kolonel Indonesianya tersebut. “Ia (Simbolon) melihat ke dalam relung matamu dengan jabat tangan yang kukuh,” ujar Almy, “Dia tak hanya tahu bahasa Inggris yang sempurna, bahkan ia tahu bahasa prokem Amerika.”

Tapi PRRI masih berusaha mencari senjata dengan cara membeli. Maka, Letkol Ahmad Hussein mengutus Letkol Sjoeib ke Singapura dengan menumpang kapal Douglas. Kapal Norwegia ini disewa PRRI untuk mengekspor karet ke Singapura. Saat karet dibongkar di pelabuhan Johor, Malaysia, bak seorang pengusaha, Sjoeib turun dari kapal dan dengan mobil meluncur ke Singapura. Dia mengontak seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang dekat dengan PRRI, bernama A.P. Lim. Lim segera menyodorkan secarik kertas dengan nomor, nama jalan, dan pesan yang samar, “Seseorang akan menemui Anda.”

Ketika Sjoeib sampai di alamat yang dituju, ia bertemu dengan seorang pria jangkung berkulit putih yang memperkenalkan diri sebagai George. Nama asli George sebenarnya adalah Fravel “Jim” Brown, agen CIA yang juga pernah ditempatkan di Medan. Tapi saat itu George menawarkan secangkir kopi beserta isyarat untuk pertemuan yang akan datang. Karena gagal memperoleh senjata saat itu, Sjoeib kembali ke Padang. Tapi, dua pekan kemudian, sebuah pesan dari kantor pusat CIA sampai di konsulat Medan: “Kirimlah buku yang lebih banyak.” Ini adalah tanda bahwa CIA pusat menyetujui bantuan yang lebih banyak untuk PRRI. Almy pun menyusun rencana pertemuan dengan PRRI di Singapura.

Pada pertemuan kedua itu, Sjoeib bersama Simbolon bertemu langsung dengan Kepala Markas CIA di Singapura, James Foster Collins. Sebelum berdinas di CIA, Collins sudah mengenal sejumlah perwira senior TNI, termasuk Simbolon. Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Almy dan Jim Brown itu, sebuah tas berisi “buku” (alias uang US$ 43 ribu) berpindah ke tangan Simbolon dan Sjoeib. Bak kisah film-film James Bond, daftar senjata pun disodorkan: senjata anti-pesawat terbang, antitank, senapan, dan granat. “Simbolon sangat senang,” tutur Almy seperti yang dikisahkan dalam buku karya Conboy dan Morrison itu.

Pada Januari 1958, kapal selam Amerika USS Bluegill mendapat perintah sangat rahasia untuk menyiapkan misi pengawalan pengiriman senjata ke Sumatra. John Mason—agen CIA yang berhasil menangani infiltrasi CIA ke Cina dan Tibet—ditunjuk memimpin operasi dengan nama sandi “Haik”. Kapal selam Bluegill berangkat dari pangkalan di Teluk Subic, Filipina, dan bergerak dalam keheningan jurang kegelapan 2.000 meter di bawah permukaan laut Selat Mentawai.

Sebuah pesan dari Singapura sampai di Padang: “Barang-barang sudah berada di laut lepas. Harap Tuan-Tuan besok mengambilnya.” Dua hari setelah konferensi Sungai Dareh, kapal perang AS USS Thomaston meluncur memasuki Selat Mentawai. Kegelapan malam melindungi kapal ini ketika ia memuntahkan dua kapal kecil dari lambungnya. Begitu kapal kecil yang penuh senjata itu menyentuh air laut, Thomaston segera kabur.

“Our baby is about to be born (bayi kita sudah akan lahir),” ujar Jim Brown, yang mengamati pengiriman senjata itu di Padang. Pada saat yang sama, John Mason mengintip semua ketegangan yang berlangsung selama operasi pengiriman senjata itu dari balik kamera periskop USS Bluegill. Inilah paket pertama bantuan senjata CIA, yang kemudian disusul droping senjata melalui Bandara Tabing.

Ternyata bantuan senjata CIA terasa mubazir bagi PRRI. Ketika pasukan Jakarta menyerbu Padang pada Maret 1958, tak ada perlawanan yang berarti. Pasukan PRRI segera bergerilya di hutan. Di Medan, agen CIA Dean Almy berusaha menemui anak buah Simbolon untuk memperingatkan kedatangan pasukan Jakarta, tapi upayanya sia-sia belaka. Mereka sudah lari ke hutan. Ironisnya, Asisten Atase Angkatan Darat di Kedutaan Besar AS di Jakarta, George Benson, ikut memberikan andil penghancuran PRRI oleh TNI. George Benson, yang dekat dengan Kolonel Ahmad Yani, selaku Wakil Kasad, memberikan peta Sumatra Barat kepada Ahmad Yani, yang kemudian secara efektif digunakan untuk membekuk perlawanan PRRI. “Saya baru tahu keterlibatan CIA setelah Allan Pope tertembak,” kata George Benson kepada TEMPO, yang menghubunginya melalui telepon internasional.

Hanya perlu enam hari setelah kejatuhan Padang, Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles mengalihkan dukungan AS ke pemerintah pusat Jakarta. Sebaliknya, Permesta, yang sempat malang-melintang menguasai wilayah Indonesia Timur, pada awal perjuangannya harus membeli senjata sendiri. “Kami terdesak tenggat Proklamasi Permesta,” ujar Mayor Nun Pantouw. Berbekal uang hasil ekspor kopra sebesar US$ 4 juta, Ketua Dewan Tertinggi Permesta Letkol Ventje Sumual menugasi Pantouw (kini 76 tahun) mencari senjata lewat seorang kontraktor minyak AS bernama Wally Zimmerman. Kontraktor yang berkantor di Singapura ini memberikan informasi lengkap pasar senjata di Italia dan Swiss. Upaya Pantouw gagal meski sudah mencari hingga ke Italia, karena terbentur pengangkutan. Tapi tentu saja semua perjalanan perwira Permesta ini dimonitor oleh CIA.

Sebelum AS memberikan senjata gratis kepada Permesta, Pantouw berhasil membeli senjata bekas dari Taiwan lewat seorang broker, Madame Chua. Senjata dan sebuah pesawat pengebom Beach Craft seharga dua sampai tiga juta dolar itu memang akhirnya sampai ke Manado, tapi ternyata sebagian di antaranya adalah senjata rongsokan. “Meski rongsokan, masih bisa membunuh orang. Masa bodoh,” ujar Sumual kepada TEMPO sembari tertawa.

Ketika bantuan senjata AS tiba, Sumual merasa hanya membutuhkan dua batalion senjata anti-serangan udara. Tapi, belakangan, ternyata kebutuhan Permesta meningkat dan CIA pun sangat royal. Selain menempatkan agen CIA Cecil Cartwright, CIA memberikan antiaircraft, dua pesawat pengebom B-26, dan 20 teknisi untuk pengoperasian pesawat tempur. Dengan bantuan sebanyak itu, lahirlah rencana besar di benak Sumual. “Kapal terbang ada, senjata lengkap. Kita merencanakan menduduki Jakarta,” ujar Sumual bersemangat.

Sasaran pertama Sumual adalah Pulau Morotai, yang memiliki landasan panjang untuk pesawat tempur B-26. Tahap kedua, sasarannya Jakarta, dengan target antara bandara Balikpapan dan kilang minyak di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Sumual yakin bahwa mereka mampu memperoleh dukungan pasukan Siliwangi untuk mengatasi tentara yang berpihak pada PKI. “Dengan demikian, praktis Jakarta bisa kami kuasai, pemerintahan Sukarno diganti, dan kami kembali ke barak,” ujar Sumual mengungkap cita-citanya di masa lalu.

Aksi-aksi pengeboman oleh Angkatan Udara Revolusioner (Aurev)—AU Permesta—di bawah komando Petit Muharto itu pun terus berlangsung. Salah seorang pilot yang dikirim CIA adalah Allan Pope, kala itu berusia 30 tahun. Bak macan, di dalam kokpit B-26, dia mengarungi udara. “Dia (Pope) mengira dirinya sendiri dapat memenangi peperangan,” ujar Connie Seirgrist, teman Pope.

Suatu hari, bak seorang lone ranger, Pope memacu B-26 menuju Ambon. Pada lintasan pertama di atas pelabuhan Ambon, Pope menebar selebaran yang berisi peringatan bagi penduduk sipil dan kapal dagang agar menjauh dari barak TNI dan Teluk Ambon. Ketika kembali lagi, Pope melepas tali bom dekat pantai, yang meledak di laut. Dia kembali lagi dan mengaktifkan mitraliur. Tapi tiba-tiba sebuah ledakan meletup di mesin kanan. Lampu bahaya pun berkedap-kedip di kokpit. Secara refleks, Pope membelok dengan tajam mengarah ke Bandara Mapangat di Manado. Tapi terlambat!

Di Kota Ambon, pasukan garnisun memungut kepingan mesin B-26 yang menghunjam ke tanah. Senjata anti-pesawat terbang ternyata berhasil menghantam B-26 Pope hingga jatuh di perairan Ambon. Sebuah berita melesat ke Jakarta. Sejak saat itu, Pope memang tak pernah kembali lagi ke Mapangat. Dia tertangkap dan divonis hukuman mati di Yogyakarta.

Tertangkapnya Pope merupakan akhir keterlibatan CIA dalam PRRI/Permesta dan sirnanya mimpi besar Sumual untuk menguasai Jakarta. “Kalau Allan Pope tidak jatuh, rencana besar saya pasti akan berjalan lancar,” ujar Sumual masygul. Dan sejarah memang berbalik arah, tak sesuai dengan mimpi Sumual dan kawan-kawan.

Tiba-tiba, semudah membalikkan telapak tangan, AS mengalihkan dukungannya ke Kepala Staf AD Mayjen A.H. Nasution dan Kolonel Ahmad Yani, yang ditunjuk memimpin operasi penumpasan PRRI/Permesta. “Ibaratnya, kami adalah kuda yang tidak kuat, lalu ditinggalkan,” ujar Sumual.

Agen CIA Cecil Cartwright terpaksa memenuhi perintah Direktur CIA Allan Dulles untuk hengkang dari Manado demi kepentingan yang lebih besar: Amerika Serikat.

“Saya harus pergi,” ujar Cartwright kepada Sumual.

“Selamat jalan,” ucap Sumual. (Sumber)