-->

PERISTIWA PRRI DI SUMATERA

Sebelumnya, maafkan, saya hendak memanggil daerah yang kita panggil sebagai Sumatra Barat dengan nama Minangkabau. Kenapa saya panggil demikian ? Karena istilah Sumatra Barat sebenarnya daerah administratif (propinsi) yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk membagi daerah-daerah sesuai dengan nama etnis yang mendiaminya. Pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Orde Lama menamakan daerah yang kita sebut Sumatra Barat sekarang dengan nama propinsi Sumatra Timur yang beribukota di Padang. Daerah Sumatra Timur jauh lebih luas daripada Sumatra Barat, yang meliputi Riau dan Sumatra Barat sekarang. Riau termasuk bagian dari Sumatra Tmur. 

Lalu kenapa pemerintah Orde Baru Suharto) menetapkan propinsi Sumatra Barat seperti sekarang ini ? Ini berkaitan dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pada tahun 1958-1962. Sejumlah panglima divisi Banteng dan staf-stafnya yang meliputi Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Tapanuli, Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti M. Natsir, Sumitro Djayahadikusumo, M. Hatta, dan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Maksud dari PRRI ini adalah untuk memperingatkan Yang Mulia Presiden Soekarno yang sudah bertindak sewenang-wenang. Kecemburuan pusat-daerah turut pula memperkeruh suasana. Kondisi pada tahun 1950-an mirip dengan kondisi sekarang. Soekarno membangun Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan membangun proyek-proyek mercu suar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan dan sejumlah patung. Sementara daerah dibiarkan miskin dan melarat. 

Soekarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Hal ini tidak disukai oleh panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno menggunakan sentimen etnis dan ideologi. Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan. Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sumitro Djojohadikusumo, dan tokoh Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), Vence Sumual. 

Soekarno tak suka ekonomi. Ia lebih suka membangun ideologi revolusioner. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi pada masa itu mandek. Indonesia memang kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara dan Asia (setelah Cina). AS tak suka pada Soekarno. 

Soekarno menganggap PRRI/Permesta sebagai kenakalan “anak-anak”. Soekarno memang menganggap dirinya sebagai Bapak sedangkan para politisi dan perwira militer sebagai anak-anaknya. Soekarno adalah orang yang pandai bermain peran. Ia pandai menempatkan diri. Ketika menghadapi kelompok Islam ia pandai bermain peran sebagai muslim yang baik.

Upaya Diplomasi Pada awalnya Soekarno tidak ingin menghadapi PRRI dengan kekerasan. Soekarno mengutus Hasjim Ning, pengusaha, saudara Bung Hatta, untuk menghadap Kolonel Ahmad Husein di Padang. Kolonel Ahmad Husein mengajukan sejumlah tuntutan antara lain: retool kabinet, bung Hatta didudukkan kembali Wakil Presiden, dan keadilan pusat-daerah. Semua tuntutan ini ditolak oleh soekarno. Ia menganggap Ahmad Husein sebagai “Anak Bandel” dan harus segera diberi pelajaran. Kolonel Ahmad Husein adalah bukan orang sembarangan. Ia adalah panglima Divisi Banteng/Sumatra Timur yang berjasa mengusir tentara NICA dari Sumatra Timur. Dan tentara Divisi Banteng dikenal tangguh dalam berperang. Mereka berpengalaman menghadapi Belanda. Oleh karena itu Soekarno tidak boleh main-main. Ia harus menyiapkan tentara terbaik untuk menyerbu Padang.

Presiden Soekarno mengutus Jenderal Ahmad Yani untuk menyiapkan operasi tempur yang diberi nama Operasi 17 Agustus. Jenderal Ahmad Yani menyiapkan sejumlah batalyon terutama dari Kodam IV Diponegoro dan Kodam II Siliwangi. Letjen Soeharto ditetapkan sebagai pelaksana lapangan. Serbuan pertama dilaksanakan dengan operasi pendarat Amphibi di pantai Padang. Sekitar lima jam, kapal-kapal ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan menghujani pantai Padang yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan PRRI. Jelas kekuatan ALRI bukanlah tandingan pasukan PRRI. Kekuatan ALRI adalah yang terkuat di Asia. 

Selanjutnya diteruskan dengan operasi pendaratan pasukan Amphibi di pantai Padang berikut tank-tank dan artileri. Lalu dilanjutkan oleh penerjunan pasukan parasut (paratrooper) di kota Padang dan Bukittingi. Serbuah ini menimbulkan banyak korban jiwa baik tentara Jawa maupun tentara PRRI. Pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara

Republik Indonesia (AURI) membomi titik-titik penting pasukan PRRI. Pasukan Jawa akhirnya berhasil menguasai Padang. Serbuan ofensif lalu diteruskan hingga ke lembah Anai. Serbuan ini ditahan oleh pasukan PRRI dalam suatu pertempuran yang paling berdarah dalam sejarah PRRI. Pasukan PRRI mundur ke hutan-hutan. Pasukan Soekarno mengadakan gerilya di daerah perkampungan dan perkotaan. Dalam proses itu, ratusan dan ribuan orang diciduk. Sebagian mati dalam tahanan. 

Pasukan KODAM Siliwangi dikenal berperilaku lebih baik daripada pasukan dari KODAM Diponegoro. Selain berasal dari etnis Sunda, pasukan KODAM Siliwangi berperilaku lebih halus dan agamis. Sedangkan pasukan KODAM IV Diponegoro berperilaku kasar. Mereka menganggap diri sebagai pemenang perang dan mengulangi kisah sukses ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan Sumatra

Atas bujuk rayu sejumlah tokoh, kolonel Ahmad Husein menyerahkan diri kepada Gubernur Bagindo Aziz Chan dan Letjen Supeno di sebuah lapangan di Solok. Ahmad Husein menyerah bukan karena kalah tapi demi keutuhan republik. Pasukan PRRI masih banyak tersebar di hutan-hutan. Ahmad Husein ditangkap dan dibawa menghadap Presiden Soekarno. Gimana masih mau melawan Bapak? tanya Soekarno secara retoris. 

Total dalam perang ini ada 30.000 korban tewas di kalangan masyarakat Minang. Kebanyakan sukarelawan PRRI. Hal ini belum lagi dilanjutkan dengan korban penyiksaan tahanan-tahanan PRRI oleh tentara Soekarno. Laporan ini tidak akan pernah diketahui publik. Hanya sedikit sarjana yang mengetahui dengan pasti kejadian ini antara lain Geoger Mc. Turnan Kahin, ilmuwan politik dari AS dan Nazaruddin Sjamsuddin yang menulis disertasi mengenai PRRI di Australian National University (ANU)

Dampak PRRI bagi etnik Minangkabau.
PRRI adalah sebuah titik balik bagi etnik Minangkabau. Semenjak itu, etnik Minangkabau mengalami kemunduran total dalam berbagai bidang. Dalam pentas politik, kita tidak mendengar lagi etnis Minang. Padahal etnis Minangkabau punya saham yang besar dalam kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka, M. Hatta, Sutan Syahrir, Abdul Rivai, Bahder Djohan, Abdul Muis, Rasuna Said, Rahmah El-Yunusiah, Idrus, dan Marah Rusli. 

Tapi tokoh-tokoh ini tak pernah ada dalam buku-buku sejarah terbitan Orde Baru. Seluruh buku-buku sejarah yang ada di SD, SMP, dan SMU sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga meminggirkan peranan tokoh-tokoh etnik Minangkabau dalam sejarah. Justru peranan Soeharto dan TNI-AD yang begitu ditonjolkan. Selama ini kita dibohongi dan ditipu oleh pemerintah pusat. 

Etnis Minangkabau mengalami krisis identitas yang parah. Kemiskinan dan kebodohan meraja rela. Sebagian etnis Minangkabau memang sukses di rantau namun sebagian lagi terlunta-lunta di rantau. 

Generasi muda Minangkabau tidak lagi mengenal dan memahami budaya asli negerinya. Adat kembali ditinggalkan. Padahal budaya Minangkabau mempunyai nilai-nilai yang unik yang tak ada duanya. (Sumber)