-->

PERINTAHAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA

Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidakharmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah seperti berikut: 

a. Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein. 
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.

Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis. 

Langkah berikutnya tanggal 12 Februari 1958 KSAD A.H. Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah dan selanjutnya menempatkan langsung di bawah KSAD Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr. Syafruddin Prawiranegara. 

Agar semakin tidak membahayakan negara, pemerintah melancarkan operasi militer untuk menumpas PRRI. Berikut ini operasi militer tersebut.
  1. Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel Ahmad Yani untuk wilayah Sumatra Tengah. Selain untuk menghancurkan kaum sparatis, operasi ini juga dimaksudkan untuk mencegah agar gerakan tidak meluas, serta mencegah turut campurnya kekuatan asing.
  2. Operasi Tegas dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Tugasnya mengamankan Riau, dengan pertimbangan mengamankan instalasi minyak asing di daerah tersebut dan mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan negara dan miliknya.
  3. Operasi Saptamarga untuk mengamankan daerah Sumatra Utara yang dipimpin Brigjen Djatikusumo.
  4. Operasi Sadar dipimpin Letkol Dr. Ibnu Sutowo untuk mengamankan daerah Sumatra Selatan.
Akhirnya pimpinan PRRI menyerah satu per satu. Misalnya Ahmad Hussein tanggal 29 Mei 1961 melaporkan diri beserta pasukannya, dan diikuti yang lain. Dengan demikian pemberontakan PRRI dapat dipadamkan.

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin waktu itu oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.[1]

Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan.[2] Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda, hal ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang.[3]

Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia.

KABINET PRRI  
  • Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
  • Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
  • Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
  • Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
  • Moh. Syafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
  • J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
  • Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
  • Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
  • Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
  • Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
  • Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang
PASCA PRRI
Pengaruh dari peristiwa ini juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain[4] serta kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebahagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut yaitu melekatnya stigma pemberontak[5], padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonialis serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi psychology of the losers (psikologi orang kalah)[6] serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.[4] (Sumber)

REFERENSI 
  1. Poesponegoro. Marwati Djoened, Notosusanto. Nugroho, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman Jepang dan jaman Republik Indonesia, PT Balai Pustaka, 
  2. Lukman Hakiem, (2008), M. Natsir di panggung sejarah republik, Penerbit Republika, 
  3. Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, 
  4. Syamdani, (2009), PRRI, pemberontakan atau bukan, Media Pressindo, 
  5. Kahin, Audrey R.,(2005), Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, 
  6. Hidayat, Komaruddin (2008). Reinventing Indonesia: menemukan kembali masa depan bangsa. Jakarta: PT Mizan Publika.