-->

PARA PEJUANG ITU..

Pasca Pilpres lalu membuat Sumatera Barat dalam sorotan politik nasional karena di propinsi ini presiden terpilih kalah telak. Banyak asumsi, dugaan, tuduhan kepada rakyat Sumbar atas pilihan tersebut. Bahkan lebih jauh, ada yang mengasumsikan rakyat Sumbar sebagai orang yang 'kalah' akan mengalami kerugian besar selama masa pemerintahan presiden mendatang sebagai 'hukuman'. Sebuah dugaan yang bisa jadi ya tapi bisa juga tidak.

Tapi tahukah anda bahwa di masa lalu, orang Minang pernah mengalami masa-masa 'kekalahan' yang lebih menyakitkan. Sangat menyakitkan malah, sampai-sampai orang Minang malu mengakui asal-usulnya. Bahkan bayi yang lahir diberi nama yang bernuansa Jawa untuk mengaburkan identitas ke-minang-annya. (Bisa jadi nama pak Gubernur Irwan Prayitno termasuk didalamnya...) Sampai begitu betul runtuhnya harga diri orang minang saat itu. Itulah mungkin masa paling kelam dalam sejarah orang Minang pasca kemerdekaan. Mereka 'dihinakan' secara fisik dan mental. Sebagai pemberontak yang kalah.

Pemberontak? Ya, itu julukan untuk anak-anak Minang saat itu. Semua berawal dari pertemuan rahasia beberapa orang panglima militer asal Sumatera (kecuali Letkol Ventje Sumual yang dari Minahasa, Panglima Wirabuana) di Sungai Dareh pada 9 dan 10 Januari 1958. Sei. Dareh pada saat itu adalah sebuah kampung kecil terpencil di jantung rimba raya Sumatera (sekarang menjadi bagian dari Kab. Dharmasraya). Dari lokasinya saja sudah terbayang betapa rahasianya pertemuan ini. Rupanya meskipun di tengah rimba, mereka tidak lupa membawa tustel. Jadilah foto yang ada di awal tulisan ini.

Pertemuan ini sebenarnya merupakan lanjutan dari apa yang telah dilakukan para perwira ini sejak akhir 1956 yaitu pembentukan 'pemerintah daerah' yang mereka namai 'Dewan'. Dewan Banteng di Sumatera Tengah (Letkol Ahmad Husein), Dewan Gajah di Sumatera Utara (Kol, Maludin Simbolon), Dewan Garuda di Sumatera Selatan (Letkol. Barlian) dan Perjuangan Rakyat Semesta/Permesta di Sulawesi (Letkol Ventje Sumual).
Dewan-dewan ini menyorot ketimpangan pembangunan serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang dinilai tidak adil. Intinya mereka menuntut otonomi dan desentralisasi yang lebih luas, sekaligus distribusi keuangan yang proporsional. Setelah kemudian ternyata tuntutan itu tidak direspon Jakarta,  Dewan Banteng alih-alih menyetorkan penghasilan daerah Sumatera Tengah ke Jakarta, malah digunakan langsung untuk pembangunan di Sumatera Tengah sendiri. Demikian juga yang dilakukan oleh Permesta. Simpati rakyat langsung mereka raih.

Setelah berlalu beberapa waktu, atas inisiatif Letkol. Barlian diadakanlah pertemuan di Sungai Dareh itu. Kol.Dahlan Djambek - putra ulama kharismatik Inyiak Djambek dari Bukittinggi- dan Kol. Zulkiflli Lubis turut bergabung dari Jakarta. Dari Jakarta juga turut hadir para tokoh sipil seperti MR. M. Natsir, MR. Syafruddin Prawiranegara, MR. Burhanuddin Harahap, dan DR. Soemitro Djojohadikusumo. Tujuannya adalah mengambil sikap akhir terhadap Jakarta yang dianggap tidak merespon tuntutan sebelumnya.

Pertemuan itu menghasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk "Dewan Perdjuangan" yang diketuai oleh Ahmad Husein dan beberapa butir tuntutan kepada Jakarta. Agaknya kehadiran para tokoh sipil -terutama pak Natsir yang dikenal sangat cinta republik- telah berhasil meredam gelora revolusioner para kolonel. Buktinya tidak ada pembicaraan tentang membentuk negara baru, sebagaimana diakui oleh para pelaku sejarah ini di belakang hari.

Selanjutnya pada 10 Februari 1958 melalui corong RRI Padang Ahmad Husein membacakan tuntutan itu. Bergeser dari sebelumnya, tuntutan kali ini lebih bernuansa politis. Isinya antara lain menginginkan tampuk kabinet diserahkan dari Juanda kepada Hatta dan Hamengkubuwono (yang dianggap "jujur, cakap, dan bersih dari anasir-anasir anti Tuhan") serta menuntut agar Soekarno mematuhi konstitusi secara ucapan dan perbuatan. Memang saat itu Bung Karno sedang mesra-mesranya dengan PKI dan politik Nasakom-nya.

Tuntutan itu diakhiri dengan kalimat "bahwa apabila telah lewat waktu yang ditentukan tidak dipenuhi, maka dengan ini kami menyatakan bahwa sejak saat itu kami menganggap diri kami terbebas daripada wajib taat kepada DR. Ir. Soekarno sebagai Kepala Negara. Maka sebagai akibat dari tidak dipenuhinya tuntutan di atas itu, menjadi tanggung jawab dari mereka yang tidak memenuhinya, terutama Presiden Soekarno." Tempo yang diberikan adalah  5 x 24 jam.

Pelantikan kabinet PRRI 15 Februari 1958:
Dahlan Djambek, Burhanuddin Harahap, Ahmad Husein,
Sjafruddin Prawiranegara, Maludin Simbolon (kiri ke kanan)

Jakarta tentu saja menolak ultimatum itu. Akibatnya setelah 5 hari berlalu, tanggal 15 Februari 1958 Dewan Perdjuangan mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara selaku Perdana Menteri. PRRI -yang dalam lidah orang Minang dilafalkan sebagai "peri-peri"- segera mendapat dukungan luas dari masyarakat, terutama Sumatera Tengah. Apalagi Pak Sjafruddin memang sudah sangat akrab dengan rakyat Minang terutama sejak jaman Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) 10 tahun sebelumnya. Ketika itu bersama Sjafruddin selaku Presiden PDRI mereka bersama-sama menyelamatkan eksistensi republik ini pasca penangkapan Soekarno dan Hatta oleh Belanda. Meskipun demikian,  ada juga sebagian orang Minang yang setuju untuk menuntut, tapi tidak setuju untuk membentuk pemerintah tandingan.

Jakarta menganggap ini sebagai makar. Gayung bersambut. Tak tanggung-tanggung, Jakarta mengirimkan operasi militer skala penuh karena mendapat informasi bahwa pasukan PRRI mendapat pasokan senjata dari Amerika. Padahal yang disebut 'pasukan' itu tak lebih dari masyarakat terutama pemuda, pelajar dan mahasiswa yang dipersenjatai. Bukan militer profesional yang terlatih baik.

Hal ini langsung terbukti. Operasi militer yang dipimpin Kol. Ahmad Yani dapat merebut Padang hanya dalam waktu 1 hari dengan gempuran dari laut dan udara pada 16-17 April 1958. Selanjutnya pasukan APRI, atau yang biasa disebut orang minang sebagai 'Tentara Pusat',  itu bergerak cepat merangsek wilayah-wilayah lainnya. Padang, Bukittinggi, Painan dibombardir pesawat-pesawat AURI. Dari titik itu bermulalah stigma 'pemberontak' dan 'orang kalah' bagi orang Minang.

Atas nama perang, banyak cerita kekejaman Tentara Pusat yang beredar di masyarakat. Di lapangan, Tentara Pusat datang lebih sebagai 'penakluk' daripada 'saudara' sehingga tindakan mereka yang represif menimbulkan luka yang dalam bagi orang Minang. Belakangan diketahui bahwa sebagian dari tentara yang berasal dari Divisi Diponegoro telah disusupi oleh PKI -yang nota bene adalah lawan politik PRRI- sehingga kekejaman itu mendapatkan ceritanya sendiri. Termasuk dengan mengadu domba antar orang minang sendiri melalui tangan Organisasi Pertahanan Rakyat (OPR) bentukan tentara. Istilah 'tukang tunjuak' pun muncul. Artinya: pengkhianat. Belakangan, OPR jugalah yang menembak mati  Kol. Dahlan Djambek ketika hendak menyerahkan diri pada tahun 1961.

Dalam kondisi saling curiga demikian, orang-orang yang terlibat langsung dengan PRRI, terutama yang muda-muda,  segera menghilang, melarikan diri dari kejaran Tentara Pusat dan tukang tunjuak. Ke hutan atau ke rantau yang tak dikenal. Meninggalkan semua yang dicintai di kampung halaman. Entah sampai kapan.Antah lai ka pulang antah indak. Lauik sati rantau batuah.




Kisah ini berakhir dengan Amnesti Umum oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1961. Namun jejak luka sebagai 'orang kalah' tidaklah dengan gampang terhapus. Meskipun orang minang lebih melihat PRRI sebagai suatu 'pergolakan daerah' ketimbang 'pemberontakan'. Orang minang tidak menganggap PRRI sebagai upaya memisahkan diri dari republik, tapi lebih sebagai langkah 'koreksi total' terhadap kebijakan pemerintah Soekarno. Apalagi para pelakunya  adalah para tokoh pendiri republik ini sendiri.

Trauma 'orang kalah' itu terus menghantui orang Minang, bahkan sampai era Orde Baru. Orang Minang lebih menampilkan sikap sebagai 'anak manis' ketimbang menampilkan kepercayaan diri, sifat kreatif dan sikap kritisnya sebagaimana yang telah diamati dan dicatat oleh para pejabat kolonial Belanda dahulu.

Akankah trauma itu berulang kini, meski dalam bentuk lain?


(Sumber: prri.nagari.or.id; googlebooks: 100 Tahun Muhammad Natsir: Berdamai Dengan Sejarah danAudrey R. Kahin: Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998; kadaikopi.com; bode-talumewo.blogspot.com; ranahberita.com)

0 komentar:

Posting Komentar