Umumnya pengertian orang tentang sosialisme adalah seperti judul dari tulisan ini; “sama rata sama rasa”. Dan pengertian itu dikutuk serendah-rendahnya hingga hari ini. Yang menjadi alasan utama kutukan tersebut adalah; manusia pada dasarnya memang berbeda-beda, ingin membuat manusia menjadi sama adalah mengingkari kodratnya, menentang Tuhan, dan segala macam alasan lainnya yang dilontarkan. Kemudian dilanjutkan pula dengan alasan; bahwa manusia melakukan usaha yang berbeda-beda dalam hidupnya – sehingga hasil yang didapatkannya pun berbeda-beda. Tujuan dari tulisan ini adalah, mencoba untuk meninjau kembali; apa yang salah dengan sebuah cita-cita ‘sama rata sama rasa’??
Manusia sejak dilahirkan, pada dasarnya memang berbeda-beda satu dengan yang lainnya, tidak ada manusia yang benar-benar serupa. Tetapi hal ini sama sekali tidak menjadi alasan bagi manusia untuk semakin membeda-bedakannya. Pada kenyataannya saat ini, manusia berbeda bukan hanya dari apa yang ia dapatkan ketika terlahir di dunia sebagai manusia. Kehidupan telah semakin memecah-mecahnya menjadi manusia-manusia dengan derajat kemanusiaan yang berbeda, hal ini ditentukan oleh keadaan ekonomi dan politik seseorang. Siapa yang unggul dalam ekonomi atau politik, maka ia akan mendapatkan status sosial yang baik, dihormati, dan derajat yang tinggi.
Kita dapat saja mengatakan – menurut ini dan menurut itu – walaupun tingkat ekonomi dan politik berbeda-beda, pada dasarnya manusia memiliki derajat yang sama.
Tetapi cobalah lihat dan sadari kenyataannya. Tingkat ekonomi manusia telah sama sekali mengubah manusia yang seharusnya sederajat menjadi manusia yang memiliki berbagai tingkatan. Dari hubungan yang “wajar” antara buruh dan majikan kita sudah dapat melihat, tidak mungkin terdapat kesetaraan di dalam hubungan tersebut. Walaupun sering kali dikatakan bahwa hubungan yang terjadi antara buruh dan majikan adalah setara, pada kenyataannya bagaimanapun majikan tetap mempunyai hak untuk menentukan upah, hak untuk memecat, hak untuk menentukan produksi, hak menentukan tingkat keuntungan, hak untuk menutup perusahaan, hak untuk menentukan jam kerja, dan sejuta hak lainnya. Sementara buruh hanya memiliki kewajiban untuk bekerja menghasilkan profit bagi majikan – sementara yang ia sendiri dapatkan hanya upah untuk dapat terus menyambung hidup.
Lebih terlihat lagi ketika terjadi pelecehan seksual yang dilakukan terhadap kaum buruh perempuan yang sering terjadi di pabrik-pabrik hingga hari ini. Pemecatan sewenang-wenang, pemotongan upah, penolakan kenaikan upah, dan lain-lain. Contoh lain, bagaimanapun tidak akan terjadi hubungan yang sederajat antara petani upahan dengan pemilik tanah. Petani upahan hanya bisa bekerja sebagai buruh tani atau buruh perkebunan yang mendapatkan upahnya dari hasil memeras keringat, tidak ada hak-hak apapun pada mereka.
Bahkan sering kali terjadi manusia tidak lagi berharga dan bermartabat karena bahkan untuk bertahan tetap hidup pun sulit. Banyak kita temukan orang-orang yang harus merendahkan derajat mereka sedemikian rupa dengan cara mengemis agar dapat bertahan hidup. Keadaan ekonomi telah membuat manusia-manusia tertentu harus dengan terpaksa menjual anaknya menjadi buruh pabrik, pekerja seksual, atau pekerja di atas jermal – yang kemudian menerima kekerasan fisik dan seksual. Karena keadaan ekonomi juga ada orang-orang yang menggadaikan moralnya untuk menjadi maling kampung.
Intinya, keadaan ekonomi menentukan kehidupan seperti apa yang dinikmati seseorang. Semakin tinggi keadaan ekonominya, maka ia akan memiliki lebih banyak hak-hak yang juga menentukan kehidupan orang lain. Semakin banyak pula fasilitas yang akan ia dapatkan dalam hidup; pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, makan, keamanan, status sosial, dan semua itu pada akhirnya menentukan derajat seseorang.
Tentang politik, tidak perlu kita katakan lagi bagaimana status politik seseorang membuatnya memiliki derajat yang lebih tinggi. Kita dapat melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Dan sesungguhnya ada hubungan erat antara tingkat ekonomi dan status politik seseorang, terjadi hubungan saling mendukung di antara keduanya. Semakin tinggi tingkat perekonomian seseorang, semakin berpengaruh ia dalam politik (walaupun tidak secara resmi). Demikian pula sebaliknya, semakin kuat status politik seseorang, akan semakin terbuka lebar aksesnya pada perekonomian.
Kita dapat melihat, ekonomi dan politiklah yang menjadi akar masalah. Karena kedua hal itu perkataan bahwa manusia sederajat tinggal menjadi omong kosong belaka. Padahal keadaan ekonomi dan politik adalah ciptaan manusia, bayi manusia yang baru lahir ke dunia tidak membawa keadaan ekonomi dan politik di tubuhnya. Manusia yang memecah-mecah diri sendiri menjadi tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda. Walaupun pada dasarnya manusia berbeda-beda, sekali lagi, hal ini bukan menjadi alasan baginya untuk semakin membeda-bedakan manusia berdasarkan tingkat ekonomi dan politik.
***
Kemudian dikatakan kembali, manusia telah melakukan usaha yang berbeda-beda dalam hidup sehingga mencapai hasil yang berbeda-beda pula.
Bagaimanapun kita tidak dapat mengatakan bahwa pekerjaan seorang buruh, petani, tukang loak, pelacur, dan anak pekerja jermal adalah lebih mudah dan enteng daripada pekerjaan seorang direktur atau pemilik modal. Mereka yang pertama disebut, bekerja sepanjang hari dan sepanjang hidupnya menggunakan seluruh tenaga mereka bahkan juga kehormatan mereka, tetapi yang mereka dapatkan hanya kesempatan untuk tetap bertahan hidup dan tidak lebih dari itu. Kalau dikatakan bukan hanya tingkat kekerasan bekerja yang menentukan, tetapi juga cara usaha itu sendiri; maka kita katakan, cara usaha seperti apakah yang dapat diharapkan dari seorang buruh, petani, tukang loak, pelacur, dan anak pekerja jermal?? Pendidikan, fasilitas, dan kesempatan tidak berada di tangan mereka, semua itu menjadi monopoli kaum yang memang sudah memiliki modal sejak awalnya.
Juga dikatakan, banyak orang yang telah melakukan usaha yang amat keras sejak masa mudanya – bahkan sejak kanak-kanak, dari keadaan melarat hingga mencapai tingkat perekonomian yang baik, sehingga wajar saja kalau ia mendapatkan hasil kerjanya sekarang ini.
Bahwa ada orang-orang yang sejak masa kanak-kanak telah bekerja mati-matian, pada kenyataannya tidak semua dari mereka pada akhirnya akan memperoleh tingkat perekonomian yang layak. Buruh anak-anak, pelacur di bawah umur, dan pekerja jermal pun bekerja sejak masa kanak-kanak mereka, bahkan tidak jarang harus menerima perlakuan kekerasan secara fisik, pelecehan seksual, dijual oleh keluarga sendiri, dan segala hal lain-nya. Tetapi mereka tetap melarat hingga mati! Dan, bukankah justru hal itu yang harus dicegah oleh manusia yang beradab – keharusan untuk bekerja demi menyambung hidup sejak anak-anak?
Hal ini semakin menunjukkan bahwa kita hidup di dalam sebuah sistem yang sakit, di mana seseorang harus bekerja sedemikian kerasnya, dan bahkan mengorbankan kehidupan masa kanak-kanak, mengorbankan kehormatan dan moralnya hanya untuk tetap hidup. Di mana ketamakan manusia bertumbuh dengan suburnya; keinginan untuk melebihi yang lain, keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk memperoleh segala-galanya, dan segala keinginan manusia yang tak terbatas. Semua itu dihalalkan dan dimaklumkan dengan seonggok omong kosong berbunyi “manusia pada dasarnya berbeda-beda”.
***
Lalu pertanyaannya, mengapa kita tidak mengusahakan sebuah kehidupan di mana derajat manusia benar-benar setara, di mana manusia tidak saling meninggikan diri di antara yang lain, di mana manusia tidak terpecah-pecah menjadi yang tinggi dan yang rendah? Hal itu cuma bisa terjadi jika salah satu syarat telah terpenuhi, yaitu tingkat perekonomian dan politik yang sama rata: (Sumber)
SAMA RATA SAMA RASA!